CATATAN PERJALANAN KE UJUNG KULON

SEBUAH PENGALAMAN YANG TAK TERLUPAKAN

 

Sabtu, 14 Agustus 99 pukul 5:00 - 11:00

Udara masih terasa dingin ketika saya bangun jam 5 pagi. Today is my great day, pikir saya. Saya membayangkan suatu perjalanan jauh yang akan penuh petualangan yang akan saya alami. Setelah selesai mandi saya ngepak barang-barang, dan tentu saja tak lupa mengecek kamera hasil minjam dari teman saya. Saya baca lagi manual book kamera itu, karena semalam hanya sempat baca sebentar. Jam 5:30 saya sudah meninggalkan rumah. Saya menunggu taksi hampir 15 menit. Sialan, saya lupa pesan taksi semalam. Padahal saya sudah diingatkan Ines, jangan terlambat lho Mbang! Dari kejauhan nampak bajaj yang datang. Ya udahlah, naik bajaj aja dari pada terlambat.

Jam enam kurang 5 menit saya tiba di Tempat Om Torsina. Di sana sudah ada Ines, Susi, Yayuk, Mas Agung, Philip dan Edy sedang sarapan nasi goreng. "Tiyo datang terlambat Mbang", Kata Ines. "Ya, dan kebetulan juga mobilnya belum diambil kok," timpal mas Agung. Tiyo datang setelah mas Agung pergi mengambil mobil. "Nah betul khan, mobilnya belum ada. Saya udah berasa kok, makanya saya terlambat", kata Tiyo sambil tertawa terkekeh-kekeh. Hampir setengah jam kita menunggu, mobil belum datang juga. Lama ditunggu-tunggu, akhirnya jam 7:45 mobil baru tiba. "Wah kijang Short lagi, mana cukup. Kita khan berdelapan orang berikut barang-barang", kata saya kepada mas Agung. "Cukup-cukup, kita atur aja barang-barangnya", jawab mas Agung berusaha meyakinkan kita semua. Saya penasaran apa aja sih isi dus-dus itu. Iseng-iseng saya buka, ada kornet, dendeng, Kopi, Jahe, Kecap, telur wah pokoknya lengkap sekali. "Ini Ines ama Susi belanja apa kulakan sih", kata saya. Ines hanya cengar-cengir aja.

Benar! setelah semua barang dimasukkan, terakhir ranselnya Tiyo karena paling berat, kita semua bingung mau duduk dimana. Tempat duduk belakang penuh dengan barang. Ada Aqua Galon, Tungku, Arang, dan ransel yang bersusun-susun. Akhirnya sebagian barang kita pindahkan ke depan. Yach akhirnya walaupun kaki diselip-selipkan di tas-tas ransel, saya, Philip, dan Edy bisa duduk di belakang. Sementara di tengah mas Agung jadi raja minyak ditengah, diapit oleh Yayu, Ines dan Susi. Tiyo, yang badannya paling besar duduk di depan, dan serasi dengan pak Mochtar driver kita yang juga gemuk.

Setelah doa bersama, jam 8:00 tepat kita dilepas oleh Om dan Tante Torsina dan Giyarsih. Di tengah Setelah keluar dari Tol Cilegon tiba-tiba ada suara ledakan kecil. Kita sedikit kaget juga. Kita pikir paling juga kerikil, pikir kita semua. Eh, ternyata korek gas pak Mochtar meledak di saku bajunya. Untuk tidak apa-apa. Wah, ternyata bahaya juga bawa korek gas di terik matahari.

Jam 11:00 kita sampai di Labuhan. Walaupun sebenarnya belum jam makan siang, tapi karena dengan pertimbangan setelah Labuhan tidak ada warung makan lagi, kita makan siang di Labuhan. Dan itupun adanya cuma restoran kecil dengan menu satu-satunya soto kaki.

 

OFF ROAD, SUNSET AND NIGHT TIME

12:00 - 16:00

Selesai makan Siang, Susi, Ines dan Yayuk beli beras dulu ke pasar, karena ternyata beras yang kemarin mereka belanja ketinggalan di rumah Susi. Sementara mas Agung nyari tambahan arang dan petai (untung kagak dapat, jadi tidak ada polusi udara nanti).

Akhirnya kita melanjutkan perjalanan. Ketika perjalanan sudah mencapai sekitar satu jam, kita hampir keterusan ke Tanjung Lesung. Untung Tiyo si Navigator sempat melihat papan arah ke Ujung Kulon. Jadi mobil mundur lagi, dan meneruskan perjalanan menuju Sumur. "Wah, sekarang jalannya sudah bagus kok", komentar mas Agung. "Dua tahun yang lalu jalananan ini parah banget". Kita semua hanya mengiyakan aja, karena memang belum pernah ke Ujung kulon. Kira-kira satu jam kemudian, jalanan aspal udah mulai habis. Kira-kira satu kilometer kemudian, kita ketemu lobang besar pertama. Tiyo terpaksa turun dari mobil untuk mengecek keadaan jalan bisa dilewati apa nggak. Setelah dirasa aman, kembali mobil melanjutkan perjalanan, dan mulailah kita melewati jalanan tanah yang lubangnya segedhe-gedhe sawah. Mungkin lebih tepatnya disebut sawah daripada jalan. Masa ditengah-tengah lubang ada tumbuh pohon talas. Dan ternyata pak Mochtar rupanya cukup ahli mengendalikan kendaraan. Berbagai lubang dapat dilewatinya dengan selamat, walaupun sempat beberapa kepala kejedug kaca jendela, karena memang mobil berguncang-guncang tidak keruan. "Wah kayaknya kita harus pakai helm juga ya". Kata Susi yang sempat kejedug dua kali. Dan setiap habis melewati satu lubang, mas Agung selalu berkata tinggal dikit lagi kita nyampai kok. "Wah mas Agung ini bilang tinggal dikit, tinggal dikit tapi kagak nyampai-nyampai". Tiyo berkomentar. Ada kira-kira satu setengah jam kita lewat jalan yang sangat buruk itu.

Jam 16.00 tepat kita sampai di Desa Cigarondong, tempat tinggal pak Komar teman mas Agung yang hendak kita singgahi. Desanya terletak di tengah-tengah sawah diapit gunung dan pantai. Yang unik dari desa itu adalah warganya hanya 20 KK, dan tidak pernah bertambah-tambah. Di desa itu, tepat di sebelah rumah pak Komar ada sebuah rumah panggung yang usianya sudah 100 tahun lebih. Sayang rumah itu tidak terawat, karena ahli warisnya tidak ada yang ngurusin.

Ketika kita datang, kebetulan pak Komarnya sedang tidak ada ditempat, karena kita memang tidak memberitahu terlebih dahulu. Desa ini untuk komunikasi cukup sulit, karena kalau berkirim surat, satu bulan baru nyampai. Untung anaknya pak Komar, yaitu pak Suparman ada. Dan kebetulan sekali Pak Parman ini adalah petugas patroli wana wisata yang bertugas bawa kapal, sehingga kita bisa menyewa kapal dari dia. Pulang pergi ke pulau Peucang kita dibebani tarip 500 ribu. Perjalanan kira-kira tiga jam. Akhirnya kita putuskan berangkat ke Pulau Peucang besok pagi, malam ini menginap di rumah pak Komar.

 

16.00 - pagi

Setelah beristirahat minum dan makan rujak Jambu yang disediakan tuan rumah, saya, Ines, Susi, Tiyo, Philip dan Yayuk jalan-jalan ke pantai. Kebetulan hari sudah menjelang sore, jadi saya bawa kamera dengan harapan mudah-mudahan dapat sunset yang bagus, karena kebetulan mendung di langit cukup tebal. Jarak desa ke pantai kira-kira satu kilometer. Hampir mendekati pantai ternyata matahari sudah menampakkan diri, makanya saya sprint supaya dapat moment yang bagus. Eh, ternyata sudah dibelain menggeh-menggeh mataharinya tertutup awan lagi. Ines dan Philip ketawa terbahak-bahak melihat saya. Ketika mereka jalan menyusuri pantai, saya sengaja menunggu matahari untuk muncul kembali, karena kebetulan saya menemukan lokasi yang benar-benar bagus. Dan ternyata harapanku tidak sia-sia, hasilnya adalah photo Sunset dengan dua ekor burung terbang itulah.

Setelah menikmati Sunset hingga benar-benar terbenam habis, kita kembali ke Desa. Ines, Susi dan Yayuk mulai menyiapkan makan malam. Saya yang seumur-umur tidak pernah doyan Corned, eh malam itu Yayuk masak telur dadar Corned Enak sekali. Kita makan malam lauknya cuman dengan Indomie dan Telur dadar Corned. Tapi semuanya pada nambah sampai tiga kali. Benar-benar kalap (kalaparan)

Malam harinya semua cewek tidur di rumah Yatie, sedangkan para Cowok tidur di rumah pak Komar. Semua tidur di lantai, beralaskan tikar. Ternyata tidak seseram yang kita dua sebelumnya. Karena kita mengira akan tidur di hutan, banyak nyamuk. Badan sudah kita olesin Autan, eh ternyata nyamuknya cuman satu dua. Belum ada dua menit saya merebahkan diri, eh sudah terdengar suara printer Dot Matrik. Ternyata Philip sudah "Ngeprint" dengan kencangnya kerr..kerr...kerr.......

 

 

TRIP TO PULAU PEUCANG

Minggu, 15 Agustus 99 Pukul 5:00 - 14:00

Jam lima pagi aku sudah terbangun. Keadaan di dalam rumah maupun di luar gelap gulita. Oh ya, saya lupa cerita kalau hampir semua rumah di sini memakai lampu Listrik dengan tenaga Surya. Tapi daya lampu yang dihasilkan paling 20 Watt, dan sekitar tengah malam sudah padam. Untung kita bawa lampu minyak, tapi itupun juga padam karena kehabisan minyak. Aku ambil senter Edy dan ke kamar mandi yang terletak di rumah depan. Oh ya, untuk air bersih disini tidak masalah, karena mengambil dari mata air gunung dan dialirkan ke Pipa-pipa pralon. Tiap bulan mereka bayar 8000 untuk berapapun air yang dipakai (karena memang tidak pakai meteran). Tapi dirumah yang diinapi para cowok belum dipasang air PAM tsb (mereka menyebutnya begitu). Jadi kalau mandi di rumah ini harus nimba dulu pakai ember.

Angin diluar cukup sejuk. Menurut mereka biasanya angin disini besar sekali. Kadang-kadang pohon-pohon pada tumbang. Terus kata mereka kita cukup beruntung bisa nyampai disini, karena seminggu yang jalan Off Road yang telah kita lewati tidak bisa dilalui mobil. Oh ya, saya juga belum ceritakan, sebelum kita sampai dirumah pak Komar, kita sempat kita mobil Suzuki Carry. Kita sempat heran juga Carry bisa nyampai disini. "Jangan salah, itu Carry sudah datang setahun yang lalu dan terjebak tidak bisa balik lagi", canda Yayuk. Kita semua terbahak-bahak. "Ya udah, nanti kalau nggak bisa balik, pak Mochtar kita tinggal, kita balik naik ojek". Sekarang giliran pak Mochtar yang terbahak.

Kembali lagi ke rumah Pak Komar. Mas Agung dan Edy seperti janji semalam, menyiapkan makan pagi buat kita. Menu andalannya adalah nasi goreng (memang itu yang hanya bisa dimasak oleh mas Agung). Sebelum mulai makan pak RT sempat datang, dan kita menyerahkan sumbangan Obat-obatan dari Lionel dan Susu dari Yayuk.

Sekitar jam 7:00 kita berangkat. Sebagian jalan kaki, karena mobil penuh dengan barang-barang perbekalan. Di tengah perjalanan, mobil terperosok ke dalam sawah karena menghidari motor yang berpapasan. Pertama kita coba angkat, tapi ternyata terperosoknya cukup dalam jadi tidak kuat kita mengangkatnya. Terus kita coba pakai dongkrak untuk mengangkat ban mobil untuk kita taruh batu-batu disitu. Tidak berhasil juga. Akhirnya pak RT mendatangkan semua warga kampung untuk mengangkat mobil rame-rame. Wah berkeringat juga nih.

Begitu tiba di pantai, kapal sudah menunggu kita, tapi kita harus menyeberangi air yang tingginya di atas lutut. Untung saya sudah siap-siap memakai celana pendek. Philip hanya membawa celana pendek yang very-very short. Jadi Philip akhirnya menjadi orang yang paling sexy diantara kita.

Perjalanan pertama kita menuju ke pulau Handeuluep ditempuh sekitar 30 menit. Kita tidak turun, karena kapal hanya ngedrop mesin dan 2 orang awak kapal saja. Rencananya memang kalau di Pulau Peucang penginapan terlalu mahal kita menginap di Handeuleup yang lebih murah.

Kira-kira satu jam setelah meninggalkan Handeuleup, di tengah laut kapal kita merapat ke Kapal Ikan nelayan yang cukup besar. Mereka sudah berada di laut selama 10 hari. Di kapal itu, kita beli Cumi-cumi dan ikan. Murah sekali, kita beli Cumi 20.000 dapat banyak sekali. Jam 14:00 tepat kita tiba di Pulau Peucang. Pantainya putih bersih kayak bedak. Dan bagian lautnya yang dangkal kelihatan hijau. Ines dan Susi sudah tidak sabar pingin nyebur untuk berenang.Di Pulau ini, kita turunkan perbekalan makan siang kita. Sementara barang-barang lain masih kita tinggal di kapal, karena kita memang belum tahu apakah kita menginap di Pulau Peucang atau tidak. Kita makan siang dengan lauk Dendeng dan telur Asin. Wah nikmat sekali! Selesai makan siang, Saya, Tiyo dan Philip coba melihat rate kamar. Alamak! Semua harga dalam Dollar. Mulai dari $35 - $90. Harga makanannya juga dalam Dollar. Yang paling murah hanya nasi goreng sebesar $3. Akhirnya kita putuskan ambil satu kamar aja untuk rame-rame.

 

 

ALMOST LOST IN THE ISLAND

14:30 - 18:30

Selesai Check in, Ines sudah tidak sabaran untuk segera nyebur ke Laut. Tapi teman-teman mau jalan-jalan dulu, karena masih cukup terik untuk berenang. Kita berdelapan berjalan menyusuri pantai mencari lokasi taman laut (menurut papan petunjuk, jaraknya cuma 1 km memotong jalan hutan). Tapi sudah 15 menit kita berjalan, belum ketemu juga. Pasirnya sekarang berupa batu-batu karang. Di sebelah kiri kita nampak hutan yang lebat dan gelap. Sesekali terdengar suara krosak! Hati kita berdesir juga. Yang muncul adalah rusa. Bahkan menurut mas Agung dia sempat ketemu babi hutan. Kita jalan terus. Kira-kira 1 jam kita berjalan, mas Agung bertanya, "Bagaimana nih, kita mau jalan terus atau balik saja?"". "Ah, menurut saya balik lagi atau jalan terus jaraknya sama aja." Akhirnya kita meneruskan perjalanan. Saya dan Ines berjalan di depan meninggalkan yang lain yang ternyata jalannya cukup lelet. Menyusul di belakang saya Philip dan Susi. Saya lihat Philip sandalnya sudah dijinjing, berarti kakiknya sudah pada lecet. Kaki sayapun sudah terasa perih, makanya tali sandal saya injak saja. Di karang-karang saya lihat banyak sekali bintang laut, teripang, dan saya nggak tahu namanya, bentuknya seperti bintang laut tapi tangannya panjang-panjang. Bahkan kaki philip hampir menginjak ular laut, makanya buru-buru sandalnya di pakai lagi.

Setengah jam kemudian kita tiba di Tebing mendekati Karang Copong. "Kayaknya kita harus lewat hutan untuk melewati tebing itu lho mbang!", kata Philip. "Okay, kita tunggu saja yang lainnya, nanti kita coba naik lewat hutan." Tak lama kemudian mas Agung dan Edy datang. Ternyata Tiyo dan Yayuk balik tidak melanjutkan perjalanan. "Ah, kali aja mereka sengaja mau mojok", Canda Philip yang disambut gelak tawa yang lainnya. "Okay, saya akan naik dulu ke atas, saya akan lihat kemungkinan kita menembus hutan." Kata saya sambil berjalan naik mendaki tebing. "Okay pada naik semua, disini semaknya tidak terlalu lebat kok. Tapi pada cari tongkat kayu masing-masing ya, takut ntar ada ular", teriak saya dari atas. Akhirnya semua pada naik ke atas. Kita berjalan di hutan menyusuri tebing tepi pantai. Saya lihat arah lain ada cahaya agak terang di pepohonan. Saya minta teman-teman berhenti dulu, saya akan coba memeriksa apakah mungkin ambil jalan pintas ke arah cahaya itu. Akan tetapi setelah dekat ternyata hutannya makin lebat. Krosak! Hati saya sempat tercekat juga, buru-buru saya balik ke tempat kawan-kawan. "Kayaknya kita harus tetap menyusuri tebing", kata saya menjelaskan kepada kawan-kawan. Sudah lima belas menis kita menyusuri tebing, tapi kok tebingnya tidak habis-habis. Sementara waktu sudah menunjukkan pukul 17:00. "Bagaimana nih, kita tidak bawa senter lho, nanti kalau belum ketemu sementara hari sudah gelap bagaimana?", kata Ines. "Dan lagian yang bawa air minum juga cuman saya gimana coba.", lanjutnya. Akhirnya setelah berembug bersama-sama, dengan pertimbangan kita tidak membawa perlengkapan, maka kita putuskan balik lagi.

Setelah menuruni tebing, kita harus kembali melewati jalan-jalan berkarang batu yang menyakitkan kaki. Setelah selesai menuruni tebing, setengah berlari saya meninggalkan kawan-kawan untuk mencapai lokasi Sunset yang tadi sudah saya tandai. Sampai di lokasi, dengan duduk terengah-tengah saya menunggu kawan-kawan yang lain. Saya perhatikan matahari masih cukup tinggi untuk mengambil photo Sunset. Tapi dibawahnya saya lihat awan mulai tebal. Wah, kayaknya kagak bakalan dapat deh Sunsetnya, pikir saya. Maka untuk sekedar dokumentasi saya ambil aja photo 2 frame.

Dari kejauhan saya lihat Mas Agung, Edy, Philip, Ines dan Susi tampak setengah berlari mendekati saya. Dari kejauhan pula nampak Edy terjatuh dua kali. "Hayo cepat, kayaknya air sudah mulai pasang nih. Kita harus segera sampai di tempat semula!", teriak mas Agung. Sayapun ikut berlari. Baru lima menit saya berlari, ketika mencoba melewati karang-karang yang licin saya terpeleset. Bug! Dengkul saya kena batu, sedang tangan saya berasa perih kena batu karang. Ketika saya mencoba berdiri, dengkul saya terasa nyeri. Saya lihat teman-teman yang lain sudah agak jauh meninggalkan saya. Dengan menahan rasa sakit, saya paksakan berlari. Ketika kita selesai melewati jalan-jalan berbatu, perasaan mulai lega. Kita merasa sedikit enakan karena tinggal berjalan di atas pasir. Tapi kelegaan itu tidak berlangsung lama, karena tiba-tiba air sudah makin naik dan merapat. Garis pantai yang dapat kita lalui tinggal selebar kira-kira satu meter, itupun kadang-kadang harus melompat atau menunduk untuk menghindari pohon-pohon yang tumbang ke arah pantai.

Kita semua terus berlari. Saya kadang-kadang harus memperlambat lari saya, karena saya lihat Susi dan Edy agak tertinggal di belakang. Jedug! Pundak saya kejedug pohon ketika mencoba menunduk melewati pohon. Lengkap sudah semua rasa sakit. Mulai dari telapak kaki, pundak sampai kepala.

Sementara saya lihat di atas hutan sudah nampak gelap gulita. Hiii...Aku bergidik. Air makin merapat saja. "Hayo cepat! Cepat!", teriak mas Agung memberi aba-aba. Sambil berlari aku melirik ke arah hutan. Hiii...Aku membayangkan kalau seandainya kemalaman sehingga harus melewati hutan yang gelap gulita itu. Kaki semakin perih, sementara nafas tinggal satu dua. Saya lihat di kejauhan sudah mulai menampak perahu. Perasaan mulai lega. Sementara air sudah setinggi mata kaki. Kami terus berlari. Perasaan ngeri, tegang dan takut mengalahkan rasa perih di kaki kami yang sudah pada lecet semua. Sementara itu perlahan-lahan dermaga sudah mulai kelihatan. Kita semua merasa lega. Garis pantai sudah mulai melebar lagi. Dari jarak kira-kira 100 meter tampak Tiyo dan Yayuk sedang berdiri di temani petugas hotel. Untuk meluapkan kegembiraan saya, Mas Agung, dan Edy melakukan sprint untuk mencapai mereka. Wussss!!!!!! kami berlari cepat bagai angin, walaupun sesampainya di tempat nafas kita benar-benar habis tapi lega. Tiyo dan Yayukpun tampak lega. Nampaknya tadi mereka sangat khawatir kita belum pulang-pulang. Mereka sudah melaporkan ke petugas hotel bahwa kita berusaha mengelilingi pantai. Menurut petugas hotel itu tidak mungkin, karena tebing disana tidak bisa dituruni. "Lha terus teman-teman saya gimana donk mas, minta bantuan Tim SAR donk untuk mencari mereka", kata Tiyo dengan penuh khawatir. "Nggak bisa mas. Tim SAR baru mulai bisa bergerak di atas jam 9:00. Sebelum jam itu, mereka belum dinyatakan hilang." Wah, ngeri juga. Saya membayangkan seandainya harus bermalam di hutan. Barangkali aja harus bertemu babi hutan dan macan. Hiiiiii..!!!!!!......

Akhirnya kita semua balik ke hotel. Sementara karena Ines masih penasaran ingin berenang saya dan mas Agung menemani dia berenang sebentar. Lupa sudah rasa cape dan sakit badan.

 

19:00 - pagi

Setelah selesai mandi, kita semua menyiapkan makan malam. Cumi dan Ikan yang kita beli tadi siang sudah dibakar setengah matang oleh Yatie, sehingga kita tinggal mematangkan saja. Sementara mas Agung dan Edy menyiapkan Tungku dan Arang, Susi dan Yayuk menyiapkan sambal kecap. Aku mengambil gelas dari kamar. Setelah semua selesai dibakar dan matang, nampaknya Yayuk terlalu banyak memberi jeruk, sehingga jadilah cuminya cumi rasa jeruk. Tapi nikmat jugalah!

Selesai makan, kita semua langsung masuk kamar. Saya, mas Agung, Tiyo dan Philip sempat main gaple sebentar. Sementara Ines, Susi dan Yayuk sudah pada tergeletak kelelahan. Oh ya, kita berdelapan khan satu kamar, sedangkan tempat tidur hanya ada dua. Jadi para cewek tidur di atas, sedangkan para cowok gelar tikar tidur di bawah. Kira-kira jam 10:00 kita sudah merasa ngantuk dan langsung mengambil tempat masing-masing. Saya dapat tempat mepet meja. Di sebelah saya Philip, Tiyo, Mas Agung dan Edy. Sepuluh menit kemudian Printer Dot Matrix di sebelah saya sudah berbunyi...kerrrr.....kerrr......kerrrr......

 

THE LAST WAVE, LAST OFF ROAD AND LAS-LASAN *)

*) Las-lasan adalah bahasa jawa. Artinya penghabisan.

Senin, 16 Agustus 99 Pukul 6:00 - 14:00

Ketika saya terbangun, di luar Jendela sudah kelihatan cukup terang. Saya lihat jam sudah pukul enam. Busyet! saya ketinggalan sembahyang subuh nih. Saya lihat teman-teman yang lain masih pada pules. Saya langsung ambil perlengkapan mandi dan keluar kamar menuju kamar mandi. Enakan mandi pagi begini, tidak mengantri, pikir saya. Oh ya, saya lupa ceritakan walaupun harganya $35 ternyata fasilitasnya lumayan jelek. Kamar tidur hanya pakai Fan, jadi terasa panas dan pengap. Ventilasinya jelek, sehingga angin laut yang begitu kencang tidak bisa masuk kamar. Terus kamar mandi ada tiga dipakai rame-rame untuk lebih dari enam kamar.

Di luar saya lihat tanah kelihatan basah. Wah, nampaknya semalam hujan cukup lama. Ada sedikit perasaan khawatir, sebab kalau hujan cukup lama, jalanan off road di desa Cigarondong tidak bisa dilewati. Bisa-bisa pulang minggu depan nih, pikir saya. Saya hanya berharap mudah-mudahan siang ini matahari cukup terik untuk mengeringkan jalanan.

Selesai mandi saya bawa kamera menuju pantai, dengan harapan mudahan-mudahan bisa mendapatkan moment yang bagus. Sesampainya di pantai saya sedikit kecewa, karena matahari sudah agak tinggi. Yach untuk sekedar dokumentasi saya ambil beberapa frame.

Ketika kembali ke kamar, ternyata semua teman sudah pada bangun. Sebagian ada yang sedang mandi. Karena pada malas ke kapal untuk memasak Indomie, maka kita hanya makan pagi dengan Apel, Roti Penthung (French bread yang biasa dibuat garlic bread) dan Energen Cereal.

Sebelum naik ke kapal, kita potret sebentar di depan hotel dan di pantai. Ya, karena waktu kita terbatas (dan juga duitnya), kita tidak sempat ambil tour sekeliling pulau. Harga semua tour dalam dollar. Kemarin sewaktu memutuskan menginap di Pulau Peucang saja, kita harus saweran lagi, karena budget Ines sudah habis.

Kira-kira jam 8:30 kita naik ke kapal dan meninggalkan pulau Peucang yang makin lama nampak makin kecil. Dari kejauhan tampak Karang Copong yang kita capai kemarin. Busyet! ternyata jauh juga kita berjalan kemarin. Tiyo (seperti biasa sudah memakai jaket tebal eskimonya), Philip, Edy sudah mulai pules. Mungkin tidurnya masih kurang semalam. Sedangkan mas Agung menemani awak kapal yang sedang mancing di belakang. Saya dan Yayuk duduk di atap kapal. Angin laut pagi cukup menyejukkan. Ines dan susi duduk di samping kapal. Kira-kira 30 menit perjalanan ombak sudah mulai berasa besar. Di kejauhan nampak beberapa kapal nelayan yang sedang melaut. Kapal kita diarahkan ke kapal nelayan tersebut. Saya pikir mungkin pak Parman mau beli ikan. Sedangkan kita karena sudah capek, sudah berniat makan siang dengan Indomie saja. Kapal pertama yang kita rapati jauh lebih kecil dari kapal kemarin. Semua teman pada bangun untuk melihat ikan. Akhirnya kita dikasih ikan yang cukup besar, kir-kira sebesar paha Philiplah (biar pada bisa membayangkan, karena di photo yang kelihatan khan hanya paha Philip). Dan ini benar-benar hanya dikasih. Wah enak juga ya jadi petugas patroli laut, tinggal merapat ke kapal, dapat ikan gratis. Gedhe lagi!

Satu jam perjalanan kemudian ombak mulai membesar. Kapal kita diayun-ayun bagaikan melewati jeram-jeram ketika kita rafting. Semua teman malah menikmati dengan gembira, kecuali Tiyo. Dia berbaring tidur (atau pura-pura tidur) sambil mendekap jirigen. Ha..ha..ha.. kita semua tertawa sewaktu melihat Tiyo. Badan sih gedhe, tapi takut ama ombak. Coba kalau galon Aqua kosong, pasti botol Aqua itu yang didekapnya. Untung bukan Ines yang didekap.

Mas Agung bak seorang nelayan sejati duduk di anjungan depan kapal, sementara Ombak menghantam dari semua sisi. Ketika ombak semakin besar, Kapten Kapal meminta Mas Agung untuk masuk ke dalam kapal. Belum sempat mas Agung masuk, ombak sudah menghantam. Byur! Akhirnya mas Agung hanya bisa bersandar di depan kaca jendela kapal di depan kita. Tangannya terlentang berpegangan sisi kiri kanan jendela. Moncong kapal kelihatan naik turun. Setiap mendapat ombak besar, kita berteriak kegirangan, sedangkan Tiyo makin mempererat dekapan jirigennya. Di depan nampak lagi gulungan ombak besar. Wah bakalan dasyat nih, pikir saya. Benar aja, tiba-tiba Byur! air masuk ke depan anjungan kapal. Dari balik kaca kelihatan begitu jelas betapa air menyiram badan mas Agung sampai basah kuyup semua. Kita semua terbahak-bahak melihat mas Agung basah kuyup. Setelah ombak agak reda, mas Agung baru bisa masuk kembali ke kapal, tentu saja masih basah kuyup.

Jam 13:00 kita sudah sampai di Pulau Handeuleup, berarti perjalanan tinggal setengah jam lagi. Tiyo sudah melepaskan jirigennya. "Wah, cewek-cewek ini benar-benar pada tahan banting semua", komentar Tiyo. Dan akhirnya Edy juga baru mengaku kalau dia sebenarnya tidak bisa berenang. Wah, salut juga pada keberaniannya. Jam 14:00 kurang sedikit desa Cigarondong sudah nampak. Ternyata kapal kita tidak bisa merapat ke pantai, karena air sudah surut. Jadi terpaksa kita memakai perahu kecil dengan dayung untuk mendarat ke pantai. Pertama-tama para cewek dulu yang mendarat, kemudian barang-barang. Kemudian terakhir para cowok berikut sisa barang yang ada. Ternyata beban kita terlalu berat, sehingga perahu melesak ke dalam yang akibatnya air laut pada masuk ke dalam perahu. Akhirnya kita rame-rame menimba air dari perahu dibuang lagi ke laut, sementara pak Parman sekuat tenaga mendayung perahunya. Ya walaupun tidak begitu dalam, tapi sekitar tiga meter juga ada kedalaman air saat itu. Tapi nampaknya jumlah air yang masuk dengan air yang dibuang jauh lebih besar. Edy mencoba membantu mendayung dengan tangan kosong. Tentu saja tidak membantu apa-apa. Tapi akhirnya kita selamat sampai di pantai, tidak tenggelam. Sementara di Pantai pak Mochtar sudah menunggu kita dengan mobilnya, sementara para cewek sudah jalan duluan untuk menyiapkan makan siang.

 

14:00 - 18:00

Sekitar jam dua kita sampai di rumah pak Komar yang sudah menyiapkan air kelapa yang langsung dipetik dari pohon. Bahkan dia sudah menyiapkan beberapa buah untuk oleh-oleh ke Jakarta. Alamak! Bakalan penuh barang lagi nih. Tapi bagaimana lagi, kita menolak khan juga nggak enak.

Kita makan siang dengan lauk Ikan dari laut tadi yang sudah di potong kecil-kecil dan di goreng. Wah, ikannya enak sekali. Bukan hanya karena lapar, tapi memang betul-betul enak. Saya aja habis empat potong. Ketika semua sudah selesai, di piring masih tersisa satu potong ikan. Saya lirik Tiyo kayaknya juga berminat pada ikan itu. "Ni ikan sudah pada tidak ada yang mau apa, kok didieman aja..... ", belum selesai Tiyo ngomong langsung saya samber aja itu ikan. Ha..ha...ha...semuanya pada terbahak melihat Tiyo dengan wajah kecewa tidak mendapatkan ikan yang terakhir. "Wah kamu ini kayaknya bukan orang jawa mbang. Kalau orang jawa ditawari begitu pasti bilang tidak mau", komentar Tiyo sambil nyengir. "Biarin, aku tahu kok kalau kamu juga pingin ini ikan, makanya aku samber aja", jawab saya sambil tergelak.

Jam 14:30 setelah photo bareng-bareng keluarga pak Komar, dan kita juga sempat photo di depan rumah yang berusia seratus tahun lebih, kita pamitan. Perjuangan belum selesai, pikir saya. Karena kita masih harus melewati Off Road yang kita tidak tahu bagaimana kondisinya sekarang.

Benar aja, sampai di kubangan pertama, kelihatan lubang sudah penuh dengan air. Tiyo terpaksa turun dan mencari kayu untuk mengukur kedalaman air. Setelah dirasa cukup aman baru mobil maju. Begitu seterusnya. Setiap ada lubang kita semua turun, dari pada kepala kejedug, selain itu jalanan juga licin, jadi tidak bisa membawa beban terlalu berat. Ada sekitar 10 kilometer kita harus melalui jalan seperti itu. Setiap mobil selesai melewati kubangan, dan ketika kembali masuk ke dalam mobil, Tiyo berkata, "Jangan khawatir, kubangan di depan masih banyak". Kalau tidak pasti Tiyo bilang "Ini lubang terakhir kok". Tapi tidak juga berakhir-akhir.

Ketika kita sudah mencapai jalanan beraspal di kecamatan Sumur, perasaan menjadi lega. Kita semua merasa sudah dekat aja dengan Jakarta, padahal perjalanan masih 5 jam lagi. Tapi yang jelas jalanan sekarang sudah mulus. Jakarta, here we're coming home........

……..I left my heart in Peucang Island........
…….Above the blue and windy sea.......

Suatu saat kita pasti akan kembali, tapi menunggu jalanan mulus dulu ..........

 

Selesai

Bambang Mr