RAFTING DI SUNGAI SERAYU:GILA DAN NEKAD

Tanggal 8 January sore saya tiba di Yogya sekitar pukul 16:30. Perjalanan dari Solo menuju Yogya cukup cepat dan lancar, karena saya naik bus Surabaya - Yogya, hanya walaupun di bus tertulis AC, tapi kenyataannya AC-nya tidak hidup.

Philip dan Yulie dan tiba di Yogya sejak pukup 10:00 pagi. Saya pikir gila juga dua anak itu. Malam lebaran mereka berangkat dari Jakarta naik bus (tentu saja gambling apakah jalanan macet atau tidak), dan tanggal 9 malam selesai rafting harus langsung balik Jakarta lagi, karena tanggal 10 sudah harus masuk kerja. Kalau saya, dengan waktu mepet seperti itu tentu saja masih berpikir panjang, paling tidak saya akan berpikir untuk bolos kantor demi untuk rafting. Saya rencana rafting inipun dikarenakan kebetulan saya mudik lebaran, jadi bisa sekalian jalan.

Setiba di Hotel, Yulie memberitahu bahwa mereka sudah pesan ticket ke Jakarta lewat travel. Berangkat jam 17:00 Wah gawat! padahal perjalanan Yogya Wonosobo sekitar 3 jam. Kita selesai rafting saja, pukul 14:00, jadi waktunya mepet sekali. Akhirnya setelah berdiskusi bertiga, kita putuskan untuk membatalkan tiket dari travel dan pulang dari Wonosobo langsung. Walaupun agak gambling juga, mengingat hari Lebaran, tiket sudah pasti banyak yang sudah terjual.

Selesai mengurus pembatalan tiket (rugi bandar juga, sebab cancelation fee-nya 50%), kita langsung cari makanan di sepanjang Maliboro. Mungkin karena stress, bawaannya langsung lapar. Wah, ternyata Malioboro sekarang jadi banyak berubah. Pedagang kaki limanya makin banyak dan berjejal. Makanan yang dijual di pinggir jalan, selain mahal, rasanya juga tidak keruan. Pokoknya kondisi Malioboro sekarang sudah tidak senyaman dulu.

Pagi harinya kita dijemput pukul 6:30, telat setengah jam dari waktu yang dijanjikan. Sebelumnya saya sempat panik juga, sebab reservasi hanya saya lakukan lewat email. Jadi saya tidak pernah tahu perusahaan Mitra Persada Tour & Travel yang memandu arung jeram ini sebelumnya. Semuanya atas dasar kepercayaan saja. Kalau sampai terjadi apa-apa dan batal, bagaimana saya harus pertanggung-jawaban saya kepada Yulie dan Philip, yang sudah belain-belain datang ke Yogya hanya untuk rafting.

Kita mampir dulu ke Mendut untuk mengambil perahu dan menjemput pemandu. Ternyata yang mengikuti arung jeram hanya kita bertiga saja. Wah gila juga. Mana cuman satu perahu lagi, tidak ada perahu resque. Ada juga sedikit perasaan gamang, karena kita bertiga memang bukan profesional. Setelah mengikat perahu di atap mobil, kita melanjutkan perjalanan menuju Wonosobo, ditemani dua pemandu Noer dan Bowo, serta dua staff Mitra Persada yang hendak mencarikan kita tiket di Wonosobo.
Pukul 9 lebih kita sampai di Wonosobo, tepatnya di rumah makan belimbing. Setelah ganti pakaian, menyiapkan baju pelampung, helm dan dayung kita turun ke sungai. Karena kondisi air cukup deras saat itu, kita ajak driver kita, yang memang terbiasa ikutan rafting juga untuk turun, supaya perahu agak sedikit lebih berat. Jadi di perahu kita ada enam orang.

Jarak tempuh sungai yang hendak kita arungi sekitar 30 km, 9 km lebih panjang di banding dengan Cicatih. Awal-awal pengarungan, seperti biasa, kita hanya melewati jeram-jeram kecil. Ketika saya tanya berapa jumlah jeram di Sungai ini, si pemandu hanya menjawab banyak sekali, jadi tidak sempat menghitung jumlahnya. Mungkin karena saking banyaknya, banyak diantara jeram-jeram tersebut belum dikasih nama. Atau lebih tepatnya, hanya beberapa jeram yang dikasih nama. Di antaranya ada yang dinamakan jeram Cawet (Celana Dalam). Menurut mereka, dinamakan demikian karena pernah terjadi seorang turis yang dikarenakan Celana Kolornya agak longgar, sewaktu terjatuh di jeram tersebut, terlepas berikut Cawetnya. Makanya ketika kita melewati jeram tersebut, sang Pemandu mengingatkan kami untuk memegangi cawet masing-masing. Ha..ha..ha...... Dan setelah kita melewati jeram tersebut, saya langsung berdiri dan berteriak, "Saudara-saudara, kita harus bersyukur karena kita telah selamat tanpa kehilangan satu cawetpun." Ha..ha..ha... kita satu perahu tertawa riuh rendah.
Kharakteristik jeram di Sungai Serayu rata-rata hampir sama semua. Jeramnya panjang, rata-rata panjang jeramnya diatas 50 meter. Selain itu, kita banyak melewati tikungan-tikungan di tebing sungai, dengan arus putar yang cukup deras.


PERAHU KITA TERBALIK

Setelah mencapai kira-kira sepertiga perjalanan, kita melewati satu tikungan yang cukup tajam dengan arus putar yang cukup deras. Karena derasnya air, perahu kita terombang-ambing ke kanan dan ke kiri dengan kencang. Tepat pada tikungan, perahu kita langsung menghantam tebing, tepat pada lambung perahu. Alhasil perahu kita jadi miring. Karena pemandu telat memberikan perintah supaya penumpang di sebelah kanan untuk pindah ke kiri, akhirnya perahu kita jadi terbalik. Kejadiannya begitu cepat sekali, sehingga yang saya ingat tiba-tiba saya sudah tenggelam di dalam air. Begitu saya muncul lagi ke permukaan air, ternyata keadaan gelap gulita. Wah, ternyata saya terkurung di dalam perahu. Akhirnya saya menyelam lagi, berusaha keluar dari perahu, dan dibantu dengan gerakan tangan, saya naik ke permukaan sungai untuk mencari udara. Mungkin karena air sungainya yang cukup deras, serta masih adanya pengaruh arus putar, begitu muncul ke permukaan untuk menarik udara, saya tersedot ke bawah lagi. Alhasil, satu teguk dua teguk air sungai sempat terminum juga. Saya berusaha naik lagi, sambil berusaha menarik ke kaki ke depan sesuai ajaran pemandu. Tapi ternyata cukup susah juga, sebab rasanya kaki tertarik ke bawah terus. Akhirnya setelah berhasil menekuk kaki ke depan, saya bisa mengapung dengan lebih nyaman. Saya lihat Bowo, salah satu pemandu sudah berada di atas perahu yang posisinya dalam keadaan terbalik. Dia mengulurkan dayungnya pada saya, lalu menarik saya ke atas perahu. Saya lihat Toro berpegangan pada tepi perahu dan berusaha naik ke atas perahu. Sementara Bowo membantu Philip, saya membantu menarik Toro dengan memegangi pelampungnya untuk naik ke atas perahu. Ternyata beratnya bukan main. Saya nggak ingat apakah Yulie di atas perahu setelah atau sebelumnya saya. Saya lihat wajahmya cukup tenang, walaupun agak sedikit pucat. Akhirnya kita semua berada di atas perahu, kecuali Noer, pemandu satunya lagi. Dia memang sengaja kita tinggal, karena memang terlempar agak jauh, dan nampaknya dia sudah menyelamatkan diri ke tepi sungai. Kita berlima duduk di atas perahu dalam posisi terbalik, tanpa pegangan dan dayung sama sekali. Dan tiba-tiba kita baru tersadar, kalau ternyata di depan mata sudah menunggu sebuah jeram yang lumayan deras....... Gawat! Kami sempat tegang. Karena memang tidak ada apa-apa buat pegangan, sementara dayungpun hanyut semua. Saya lihat Philip dan Yulie sambil telungkup berusaha mencari pegangan pada lubang kecil dasar perahu. Walaupun sebenarnya hanya jari saja yang bisa masuk, cuma mungkin cukup menumbuhkan rasa aman. Dengan pasrah tanpa bisa pegangan maupun mengarahkan jalannya perahu, kita mengikuti arus air. Perahu terombang-ambing ke kanan ke kiri. Akhirnya, setelah terombang-ambing tanpa daya, dalam waktu yang sebenarnya hanya beberapa menit, tetapi terasa berjam-jam, kita dapat melewati jeram tersebut dengan selamat. Arus air sudah mulai tenang, sehingga dengan kaki dan tangan sebagai dayung, kita bisa mengarahkan perahu sebuah batu yang agak besar tapi cukup datar. Setelah merapat, Bowo melompat duluan ke batu sambil memegangi tali perahu. Lalu saya menyusul, terus disusul yang lainnya. Setelah kita semua di atas batu, kita berusaha membalikan posisi perahu ke posisi semula. Dan nampaknya kita mendapatkan dayung kita kembali yang menyusul di belakang kita, sementara itu Bowo nyebur kembali ke sungai untuk mencari sisa dayung yang belum kembali.

Nggak berapa lama Noer menyusul kita. Dia bercerita sempat berputar di dalam sungai dua kali, karena tersedot oleh arus putar. Tak lama kemudian Bowo sudah kembali dengan dayung di tangan. Noer memeriksa perahu dan menemukan bahwa ada sobekan sedikit di lambung perahu. Saya baru teringat, kalau tadi sempat memasukkan kamera ke dry bag. Saya cepat-cepat membuka dry bag, dan memeriksa kamera. Kaca penerus ke prisma Jendela kamera sempat terlepas. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu dengan kamera saya, sebab kamera tersebut juga baru selesai di servis. Perahu kita agak sedikit kempes, karena pengaruh sobekan tadi. Dan ternyata kita baru tersadar, bahwa tabung pompa udara telah hilang, hanyut ditelan sungai. Saya lihat Yulie wajahnya masih pucat. "Untung saya bukan termasuk cewek yang manja", celetuk Yulie. "Maksudnya kalau eloe cewek manja, eloe udah menangis terguguk-guguk atau bahkan pingsan karena ketakutan kali", canda saya. Philip tertawa mengiyakan. Akhirnya kita melanjutkan perjalanan kembali. Karena jeram tempat kita terbalik tadi belum ada namanya, akhirnya kita sepakat memberi nama jeram tersebut jeram Yulie. Itu sebagai penghargaan kita atas ketabahan hati Yulie, sebagai cewek satu-satunya yang ikut dalam rafting nekad ini. Dan terus terang, ini merupakan pengalaman pertama saya, Philip maupun Yulie, mengalami kejadian perahu terbalik. Dalam perjalanan Yulie bercerita, bahwa saat perahu terbalik dia juga merasa terkurung di dalam perahu. Dia merasa sudah pasrah dan hanya berdoa, ya Tuhan, kalau saya harus mati, kalau bisa jangan dengan cara ini. Dia nggak ingat bagaimana caranya keluar dari kungkungan perahu. Dia merasa tiba-tiba sudah ada di luar perahu dan ditolong Bowo.

Mungkin ini juga menjadi pengalaman berharga bagi kami. Untung kami semua bisa renang dan pernah rafting. Kalau orang yang belum pernah rafting apalagi tidak bisa berenang, kalau sampai terkurung di dalam perahu seperti itu, kemungkinan besar dia akan panik. Itu yang berbahaya. Dan menurut pengalaman beberapa kali rafting, kita tidak pernah diajarkan bagaimana caranya kalau perahu terbalik dan kita terkungkung di dalamnya. Seperti halnya Yulie, dia tidak merasa apakah dia sempat menyelam dulu apa nggak. Mungkin karena sudah terbiasa berenang, kita mempunyai daya reflek, sehingga dengan mudah tanpa merasa panik kita bisa keluar dari kungkungan perahu.

Akhirnya perjalanan kita lanjutkan dengan perahu yang makin lama makin berasa kempes saja, sehingga lumayan berat sewaktu mendayung. Ada juga perasaan gamang, tetapi tentu saja terasa lebih aman dibanding harus duduk di atas perahu yang terbalik. Di banding dengan rafting di Citarik dan Cicatih, rafting kali ini yang menurut saya paling seru. Ada perasaan tegang dan takut juga. Kalau di rafting sebelumnya, saya sama sekali tidak pernah berpegangan tali, cukup dengan menguatkan dudukan kaki saja, di Serayu kali, rasa percaya diri agak sedikit menurun. Dalam jeram-jeram tertentu, saya sempat meraih tali untuk berpegangan. Jeram-jeram yang kita lalui hampir semuanya panjang dan bergolak. Dan ketika memasuki jeram, kita harus tetap mendayung, supaya perahu tidak terseret kepinggir tebing dan terseret pada arus putar. Pokoknya kita benar-benar puas dengan jeram-jeram yang ada. Perahu kadang-kadang seperti terlempar ke udara, atau ajrut-ajrutan bak naik kuda saja. Dan itu semua kita alami dalam waktu yang cukup lama, karena jeramnya memang panjang. Bahkan 100 meter menjelang finishpun kita masih harus melewati jeram yang cukup panjang. Sebenarnya ada jeram yang sangat deras sekali jika sedang banjir, yaitu tempat pertemuan dua Sungai. Yah, katanya hampir mirip jeram Maskot di Cimandiri. Tetapi kemarin kebetulan tidak banjir, jadi jeram tersebut kita lewati tanpa rintangan apapun.

Sekitar jam dua kita selesai. Setelah mandi dan ganti pakaian, kita makan di atas perahu. Jam 3:30 kita langsung menuju Banjar Negara untuk langsung pulang ke Jakarta. Serayu sungguh ayu dan mengesankan. Mungkin tahun depan kita akan mencoba Kulon Progo, yang katanya lebih seru dibanding serayu. Mudah-mudahan tahun depan, masih ada teman-teman yang senekad Yulie dan Philip. Terima kasih sobat, karena kalian berdua rafting ini jadi terlaksana.


Bambang Mochtar Roesdijanto